Sabtu, 22 November 2014

Belajar Kepada Iblis



Satu rutinitas yang cukup menarik bagi saya adalah pengajian tiap hari Sabtu ba’da sholat subuh. Formatnya, setelah pemateri menyampaikan suatu topic, dilanjutkan dengan penyampaian pendapat oleh para jamaah secara berurutan dari ujung. Pemateri tetapnya adalah dosen teknik sipil ITB, sementara jamaahnya beragam profesi khas suatu perumahan. Mulai dari satpam komplek sampai kapolda. Ada dokter, pengusaha, pegawai bank, penjahit, pegawai dan pensiunan Telkom, sampai mantan bupati juga ada.

Beragam latar belakang profesi inilah yang membuat diskusi menjadi menarik. Sebagaimana layaknya forum warga perumahan, diskusi inipun tak lepas dari candaan yang membikin suasana lebih hangat. Materinya cukup membutuhkan daya analitik berfikir, maklum pematerinya seorang dosen teknik ITB yang mau tidak mau pendekatan nalar berfikir lebih dominan. Dan hal inilah yang membuat salah satu jamaah akhirnya menyerah karena merasa tidak bisa mengikuti. Namun selebihnya tetap menikmati dan rajin memberikan pendapat berdasar pengalaman yang dimilikinya.

Waktu itu topik pembicaraannya adalah seputar dakwah yang menggunakan cara yang halus tanpa kekerasan. Satu pendapat yang menarik dari salah seorang jamaah yang menurut saya berfikir secara out of the box. Kita perlu belajar kepada iblis. Iblis dalam mendakwahkan kejelekan demikian sabarnya. Melalui bisikan-bisikan yang halus yang tak frontal namun dilakukan secara terus menerus yang membuat manusia tak sadar telah terpengaruh oleh tipu dayanya.

Kesabaran dan istiqomahnya iblis dalam mendakwahkan kejelekan inilah yang perlu kita ambil pelajaran. Bisa jadi iblis atau setan dari kalangan jin ini tertawa melihat rivalnya kalah set dalam pertarungan dakwah. Amar munkar yang dibawakan dengan halus ternyata lebih banyak mendapat simpati dan dukungan daripada amar makruf yang dibawakan dengan kekerasan dan paksaan. Bisa jadi dia berteriak kegirangan melihat blunder yang dilakukan oleh pihak lawan, gol bunuh diri kira-kira kalau dalam sepak bola.

Saya mendapat pelajaran yang sangat berharga dari forum ini, setiap fenomena yang hadir mengandung pelajaran. Kita bisa belajar dari apa saja, tidak hanya melalui guru sebagai pintu ilmu. Saya pikir pola pengajian model begini perlu dimasyarakatkan. Tentu bukan sebagai model terbaik yang akan jadi acuan, namun lebih sebagai pelengkap dari model-model yang telah hadir lebih dulu. Karakteristik masyarakat berbeda-beda, dan masing-masing punya model yang cocok bagi dia.

Minggu, 16 November 2014

Nggedabrus Tapi Serius



   Dulu, sebelum kemunculan facebook, dunia maya diramaikan oleh blog sebagai ajang bersosialisasi, berekspresi, aktualisasi diri dan lain lain. Setelah munculnya facebook dunia blog mulai tersisih. Facebook menawarkan kemudahan dan kepraktisan untuk bereksistensi di dunia maya. Nggak perlu punya ketrampilan menulis untuk bisa exis. Nggak perlu juga punya pengalaman menjelajah wilayah yang tidak biasa dikunjungi kebanyakan orang. Juga tidak dibutuhkan suatu keahlian khusus yang apabila diceritakan akan membuat banyak orang terpesona. Hidung gatel, mata ngantuk, kuku cantengen sudah cukup jadi bahan postingan di wall.
   Dunia maya menjadi semakin ramai, operator telco makin berlomba menggelar jaringan broadband. Sudah nggak jamannya lagi orang melamun, diam sejenak saja langsung diisi dengan aktifitas online. Saat ini materi postingan tidak lagi melulu bercerita tentang kopi yang pahit, sambel yang pedes atau asem yang kecut. Seiring perkembangan tanah air yang lagi kemaruk politik, wall facebook dipenuhi dengan postingan tautan  dari media yang berisi prestasi tokoh politik pujaannya atau kejelekan tokoh lawan politiknya. Komentar nyinyir dan sanjunganpun menyertainya.
    Nah yang terakhir inilah yang membuat sebagian kalangan, paling tidak saya, merasa tidak nyaman berada dalam lingkungan facebook. Aroma kebencian yang ditebarkan teman-teman bagaikan bertetangga dengan pemelihara anjing. Setiap lewat digonggongin. Menyapanya saja sudah nggak nyaman. Hai kau anjing. Tuh kan, menyapa dengan benerpun terasa nggak enak.
   Lha terus mau gimana lagi, kalau sukanya atau bisanya menggonggong, masak disuruh berkicau? Apa malah disuruh diam saja? We lhadalah, ya malah salah kaprah. Kukut bisnis internet. Kicauan burung yang merdu harus diperbanyak untuk menetralisir gonggongan anjing. Apapun kondisinya, kegiatan menulis harus tetap berlangsung. Ada dua buah kalimat yang cukup nendang dalam memotivasi menulis. Perbedaan manusia pra sejarah dan modern adalah tulisan, jadi kalau nggak mau disebut manusia pra sejarah, ya harus menulis. Kemudian yang kedua, sepintar-pintar orang, kalau dia tidak mau menulis, maka dia akan ditelan jaman, lenyap tak berbekas.
    Para blogger yang sudah terlena oleh facebook, kini mendapatkan momentum untuk kembali menulis yang tidak sekedar cuap-cuap. Menulis dalam blog membawa misi menebarkan inspirasi, kebahagiaan, persaudaraan, mengasah daya analitik berfikir dan tak ketinggalan banyolan yang menyegarkan. Topik ringan yang bernada nggedabrus bukanlah tanpa makna. Keakraban, kehangatan justru tercipta dengan topik-topik nggedabrus. Bakul jamu tak pernah kesepian pengunjung, setiap kali dia ‘ngoceh’ selalu dipenuhi orang yang khusyuk mendengarkan, beda dengan khotib atau penceramah yang ditinggal tidur jamaah.
    Jadi pede aja yang bisanya cuma menulis tema-tema nggedabrus, menulis harus tetap jalan terus. Nggedabrus tapi serius..