Senin, 28 September 2015

Hanya Tulisan Ringan



Baru saja saya kesenggol dengan stiker anak mbarep saya yang diperoleh saat mendaftar di SMP As-Syifa Boarding School. Tulisannya adalah : Menulis adalah warisan para ulama dan cerdik pandai. Kemudian satu lagi: Ikat ilmu dengan tulisan. Wow.. senggolan ini sungguh sangat bertenaga hingga akhirnya saya menggerakkan jari-jari ini diatas keyboard.
Lha terus mau nulis apa? Ah gitu aja kok repot, ya nulis apa sajalah kayak kita ngomong itu. Memang seperti  halnya bicara, menulis juga ada yang serius macam di jurnal-jurnal ilmiah atau kajian fiqih yang penuh dengan catatan kaki, tapi ada juga yang ringan macam Kang Prie GS. Tapi percayalah, tidak semua orang tertarik dengan sesuatu yang ndakik-ndakik. Seperti halnya bicara, orang seringkali banyak yang mengantuk ketika mendengarkan uraian yang serius dan njlimet, tapi di sisi lain seringkali kita melihat orang-orang rela berdiri lama untuk mendengarkan bakul jamu nggedabrus.
Oke, tapi dalam kesempatan ini saya tidak bermaksud untuk nggedabrus layaknya bakul jamu. Saya terinspirasi dengan Hary Van Jogja seorang tukang becak di Jogja yang rajinmenulis ngudo roso hingga berhasil menerbitkan sebuah buku The Becak Way. Saya yakin dia mempunyai kemauan yang kuat, dan mengaktualisasikan dengan tulisan pertama, selanjutnya tinggal meneruskan yang kedua, ketiga dan seterusnya.
Lha kalau profesi tukang becak saja yang dalam strata sosial orang-orang menempatkan pada klasemen zona degradasi saja bisa,  masak orang-orang klasemen menengah atas yang kemantil Blackberry, Android, iphone nggak bisa?  Lho lha kok malah nggurui to? Sorry sorry.. saya hanya sekedar oto kritik. Di sini banyak pakar yang kompeten untuk bicara tentang tulis menulis,  macam Lae Lintong, Kang Jemi dkk.
Dalam kesempatan ini saya hanya mau menunjukkan salah satu motivasi untuk menulis, yaitu balas budi. Saya pernah mumet mencari solusi teknis yang ternyata jawabannya sangat sederhana, dan jawaban sederhana itu setara dengan teknis lain yang membutuhkan effort yang sangat besar. Contoh ketika saya berganti ke Windows 7, saya tidak bisa menggunakan photoshop portable existing saya. Saya mencoba mencari photoshop portable lainnya yang compatible dengan windows 7. Ternyata setelah saya tanya ke mbah google,  lha kok gletek pethel  Cuma disuruh klik kanan terus run as administrator, ces pleng…
Kemudian ada satu lagi motivasi untuk menulis, yang membedakan peradaban modern dengan pra sejarah adalah tulisan. Nah kalau nggak mau disebut manusia purba, maka menulislah. Wah kalau yang ini bukan lagi senggolan, saya serasa dikeplak!  Waduh biyung.. pecas ndahku!

Kepahlawanan Yang Sederhana



Dalam satu tahun, di negeri ini terdapat satu hari yang para penduduknya diingatkan akan suatu nilai kebaikan. Diharapkan para penduduk negeri dapat terinspirasi agar mau dan bisa meningkatkan perbuatan baiknya bagi sesama.  Yang menjadi tonggak peringatannya memang semangat mengorbankan barang yang paling berharga yang dimiliki yaitu nyawa. Direlakan nyawa yang hanya satu satunya itu demi bangsa dan negaranya.

Tapi saya yakin untuk saat ini tidak harus nyawa yang dituntut oleh para penyelenggara negara, esensinya adalah semangat untuk berbuat kebaikan. Ajakan untuk berbuat baik telah diselenggarakan oleh berbagai elemen, di berbagai media, di setiap waktu dan dengan berbagai cara.

Ada satu model berbuat kebaikan yang sederhana sebenarnya, tapi itu cukup menginspirasi saya. Pada suatu kunjungan ke daerah, kami dijemput oleh  seorang kawan. Saat di perjalanan, saya tersenggol dengan ucapannya. Kita sedekah dulu pak, ternyata bentuk sedekahnya adalah mempersilahkan mobil lain untuk menyeberang.

Wow, ternyata kita punya banyak kesempatan untuk bersedekah. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Saya yakin kita sering mendapatkan hal seperti ini dari orang lain, dan kita merasakan senang. Tentu perasaan serupa akan dirasakan oleh orang lain ketika mendapatkan kebaikan.

Bukankah saat ini kemacetan merupakan derita yang tak terperikan bagi masyarakat perkotaan. Orang yang ketika berangkat dari rumah semanis hello kitty, pulang-pulang bisa bagai security. Makanya para istri, jangan langsung mengajak para suami untuk berdiskusi atau malah menceramahinya. Beri kesempatan dulu membersihkan debu jalanan yang mengandung radiasi panas.

Tidak memperparah kemacetan, syukur menguranginya, tentu sangat membahagiakan para pemakai jalan. Seorang Pak Lik Jokowi atau Akang Emil tentu nggak bakalan bisa menghilangkan kemacetan seorang diri, disumpah serapahi sampek tuwek, sampai elek, sampai matek, nggak bakalan bisa jadi pahlawan seorang diri. Untuk kasus kemacetan jangan berharap keajaiban tongkat Musa datang kembali. Pahlawan kemacetan adalah bagi mereka yang berkenan tidak menggunakan mobil Pribadi, cukup sepeda motor saja atau kendaraan umum. Juga kepada para pemakai jalan yang dengan sadar, menemukan metode tidak menambah kemacetan.

Ada berbagai macam bentuk kebaikan yang dapat diperankan oleh seseorang bagi sesama dengan bentuk yang sederhana, namun berdampak signifikan. Misalnya saja apresiasi. Tahukan anda bahwasanya apresiasi berkontribusi hingga 50% atas keahlian seseorang. Sisanya 25 % berasal dari bakat dan 25 % nya lagi berasal dari ketekunannya belajar. Jadi, ketika sedang nganggur tidak ada salahnya untuk buka facebook, tidak untuk menulis status, tapi cukup dengan memberikan apresiasi kepada teman atas status atau komentarnya yang kita nilai positif.  Minimal nge-like lah.

Kita semua adalah pahlawan, kalaupun Negara tak mencatat atau mengukuhkan kita sebagai pahlawan, toh itupun nggak dibutuhkan di akhirat kelak. Cukuplah Malaikat yang mengumpulkan evidence kebaikan kita.

Selamat menjadi pahlawan!

Solat Subuh Terakhir Bersama Pak Hamim



Dalam satu minggu terakhir ini ada yang berbeda dari Pak Hamim. Biasanya habis sholat isya diakhiri dengan sholat ba’diyah berbarengan dengan mematikan lampu masjid. Sampai saya selesai ba’diyah beliau masih berdoa dengan khusyu sambil menangis. Kami tinggalkan beliau sendirian di masjid. Nggak enak juga sebenarnya membebankan tugas mematikan lampu dan menutup pintu kepada beliau.

Usianya sudah 69 tahun, tubuhnya kecil namun masih sehat dan segar. Hatinya yang bersih saya yakin jadi salah satu kunci kesehatan dan kesegarannya. Bicaranya lepas, nggak ada beban yang disandangnya. Rendah hatinya, ini yang saya catat special dari beliau.
Belum banyak yang saya ketahui tentang beliau, saya sendiri baru 4 bulan menempati rumah yang saat ini dan menjadi jamaah masjid dimana Pak Hamim sebagai imam. Beliau adalah orang pertama di masjid yang mengenal nama saya, selain Mas Johni Purwantoro tentunya. Begitu melihat saya sebagai jamaah baru, beliau langsung mengajak saya berkenalan.

Pada kesempatan berikutnya beliau mempersilahkan saya jadi imam, saya terima tawaran tersebut. Sebuah sambutan selamat datang yang tulus sebagai jamaah baru. Hari hari berikutnya saya  menikmati sholat jamaah yang diimami Pak Hamim. Suaranya tidaklah begitu merdu, namun karena digerakkan oleh hati yang bersih membuat saya ‘nyaman’ sholat bersama beliau.

Hari Jumat kemarin, ternyata adalah hari terakhir kami bersama beliau. Sholat subuh kami laksanakan seperti rutinitas, dan beliau menjadi imam, tidak ada hal yang istimewa. Ketika sholat Jumat, ternyata Allah memberi kesempatan happy ending kepada beliau. Khatib Jumat yang terjadwal berhalangan hadir, sehingga beliau menggantikannya. Khutbah dilaksanakan dengan singkat, batuk batuk mengiringi saat khutbah kedua. Saat iqomah adalah masa injury time bagi beliau, sudah terasa payah beliau untuk berdiri, salah satu jamaah menggantikan beliau menjadi imam. Sholat jumat dilaksanakan beliau dengan posisi duduk. Dan itu adalah pintu perjumpaan beliau dengan Sang Khaliq.

Komplek kami berduka, kami kehilangan sosok orang tua yang begitu dihormati dan dibutuhkan kehadirannya. Allah memberikan ibroh kepada kami semua dengan akhir Pak Hamim yang begitu elok. Hari itu seolah Allah menyuruh kami untuk mengenang beliau. Sabtu pagi menjelang subuh, murotal yang terdengar di menara masjid adalah surat Al jatsiyah, yaitu surat yang diawali dengan Haa miim, tanzilul kitabi minallahil azizil hakim. Sang muadzin pun tak kuasa menahan haru, haya alal falah dikumandangkan dengan suara tangis.

Ternyata tidak cukup sampai disitu, habis subuh saya menuju masjid tetangga untuk mengikuti pengajian rutin tiap Sabtu pagi, ternyata ayat yang dibahas adalah awal surat Al Jatsiyah, Haa miim, tanzilul kitabi minallahil azizil hakim…
Selamat jalan Pak Hamim, kebersihan hatimu selalu jadi inspirasi kami …

Vitamin Pertumbuhan


Dalam suatu kesempatan, saya tersenggol oleh Gede Prama yang mengutip tulisan Thich Nhat Hanh. Disebutkan bahwasanya dalam diri manusia terdapat banyak bibit. Ada bibit kebodohan, keserakahan, kemarahan, iri hati, dendam. Ada juga bibit kesabaran, kasih sayang, cinta, memaafkan, persahabatan, kepahlawanan. Nah kalau dalam terminologi Islam disebut fujuroha wa taqwaha.
Seperti halnya dalam pelajaran biologi, bibit-bibit tersebut akan tumbuh apabila terkondisikan oleh lingkungan dan perlakuan tertentu. Misalnya pemberian pupuk, penyiraman atau sebaliknya tak bisa tumbuh karena dihambat oleh lingkungan dan perlakuan yang sebaliknya.
Yang menarik dari senggolan Gede Prama tersebut adalah, kita diberikan pilhan untuk menjadi agen pertumbuhan bibit fujuroha atau takwaha, kejelekan atau kebaikan. Kehadiran kita dalam masyarakat sosial, secara tidak sadar adalah membawa peran sebagai agen pertumbuhan atas bibit kejelekan atau kebaikan untuk orang lain.
Ada juga yang secara sadar, kehadirannya membawa misi menumbuhkan bibit kebaikan, namun dalam kesadarannya tersebut terkandung ketidaksadaran atas over dosis atau salah obat, sehingga sang bibit yang diharapkan tumbuh subur namun malah stagnan bahkan kontra produktif, mengkeret.
Sajian penuh gizi yang diberikan oleh para motivator, bagi kalangan tertentu justru dirasakan eneg. Ya memang setiap manusia punya keunikan yang tidak selamanya bisa digebyah uyah.  Kita sendiri seringkali merasakan kebosenan atas menu ayam goreng yang disajikan secara terus menerus.
Ada sebuah upaya klasik dalam rangka penumbuhan bibit baik yang diterapkan oleh masyarakat kita, yang menurut saya sangat efektif, yaitu cerita. Kalau di Jawa khususnya dipedesaan, format ceritanya berupa kesenian Ketoprak atau Wayang.
Saya masih ingat di awal tahun 80-an ketika listrik belum hadir di desa saya, para tetangga pada ngumpul di rumah orang tua saya untuk mendengarkan serial ketoprak Kamandoko, Anglingdarmo, Suminten Edan dll. Mereka semua sudah hafal nglotok jalan ceritanya, namun anehnya nggak bosen-bosen disetel terus itu kaset sampai nglokor. 
Tidak terlalu penting, apakah cerita-cerita ketoprak tersebut otentik apa tidak, namun hadirnya sosok Anglingdarmo apalagi yang memerankan Widayat yang kesohor, akan menyuburkan semangat kepahlawanan yang sebelumnya layu. Tokoh tokoh fiksi tersebut hadir tanpa membawa sebutan guru, namun memberikan begitu banyak pelajaran.
Para anak-anak juga begitu bersemangat usai menyaksikan pegelaran wayang kulit yang menampilkan kepahlawanan setyaki, atau Wisanggeni dan Ontoseno yang tidak bisa kromo inggil namun sakti luar biasa. Sambil membusungkankan dada kemudian berujar, hayo iki dadane setyaki antemono!
Saat ini pun saya masih menikmati dan mendapat suntikan semangat ketika membaca cerita Mahesa Jenar karya SH Mintarja, walaupun sudah hafal jalan ceritanya, tetap saja masih menarik untuk dibaca ulang. Terus terang dengan merasakan kehadiran tokoh Ki Asem Gede, Ki Dalang Mantingan, Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Surodipoyono, Titis Anganten, Gajah sora, ada nuansa gimana gitu. 
Kehadiran tokoh entah itu fiktif ataupun real, memang diperlukan dalam kehidupan ini. Mungkin dari sisi ilmu sejarah ada polemik, apakah itu otentik atau tidak, tetapi bagi kalangan tertentu, hal itu memberikan vitamin yang bermanfaat bagi pertumbuhan bibit kebaikan. Gambar mewakili seribu kata, tokoh mewakili seribu episod.

Kamis, 12 Februari 2015

Perpanjang Paspor di Bandung



Pengalaman saya perpanjang paspor di Kanim Bandung lumayan lancar. Sebelum pelaksanaan saya mencari informasi terlebih dahulu kepada teman-teman dan brosing internet. Ada dua cara pendaftaran offline dan online, saya memilih cara online. Dan ternyata pilihan saya tepat. Antrian offline mengular panjang sekali, sementara online hanya sekitar 3 orang. Saya datang jam 7 pagi dapat nomor antrian 14. Setelah dapat nomor antrian, saya mengisi form yang disediakan oleh pihak Kanim, sambil menunggu panggilan wawancara dan foto. Kegiatan wawancara dimulai pukul 07.30, dengan nomor antrian 14 saya dapat giliran wawancara pukul 08.45. Nggak terlalu lama lah, pukul 09.00 telah kelar.
Dokumen yang perlu disiapkan adalah:

  1.  Paspor lama plus fc halaman depan dan belakang yang ada data alamat.
  2. KTP plus fc
  3. KK plus fc
  4. Akte Kelahiran plus fc
  5. Rekomendasi atasan bagi karyawan
  6. Bukti pembayaran dari BNI
  7. Materai Rp.6000 1 lembar

Adapun prosedur online adalah masuk ke link http://bandung.imigrasi.go.id ikuti saja petunjuk yang ada, setelah selesai nanti ada notifikasi di email yang kita isikan. Selanjutnya kita membayar ke BNI dengan membawa form yang telah dikirimkan lewat email.
Setelah bayar kita mendapat bukti bayar yang didalamnya tertera nomor jurnal bank. Kemudian kita masuk ke hyperlink yang dikirimkan lewat email. Disitu kita memasukkan nomor jurnal bank dan memilih hari kunjungan ke Kanim. Waktu masuk ke hyperlink tersebut sering timeout, sepertinya servernya ada keterbatasan. Saya mengulang sampai 5 kali baru berhasil.

Oke pada jadwal yang telah kita tentukan, kita datang ke Kanim, diusahakan datang pagi untuk menghindari antrian yang panjang. Pengalaman saya mulai jam 8 antrian online sudah panjang. Sementara yang offline sudah ditutup karena sudah melebihi kuota. Pendaftaran offline kuota perharinya dibatasi, sementara online tidak ada batasan.
Hal yang perlu diperhatikan, jangan menggunkan baju / jilbab warna putih, karena background foto berwarna putih.