Masih ingat dengan petuah sopir bis Jaya Utama? Syukurlah, ternyata masih banyak yang ingat.
Tapi bolehlah saya ulang lagi, karena di belakang sana ada yang pada ngantuk.
Berbuat atau berkata benar itu baik, tapi kalau berebut merasa paling benar
jadi tidak baik. Tetapi ada kalanya, kita tidak bisa menghindar dari upaya
memperebutkan kebenaran. Nggak masalah, no problemo, its ok.
Lho gimana sih, katanya nggak baik, tapi kok malah
oka-oke saja, oo.. dasar lambene rusak ,mencla mencle, nggedabrus! Sik ta la
rek, jangan misuh-misuh dulu. Maksud saya gini, kalau berebut kebenaran itu
kita letakkan dalam bingkai BELAJAR tentu menjadi lain konteksnya. Proses
belajar, memberikan ruang yang cukup pada kesalahan. Kesalahan dalam proses
belajar bukanlah suatu akhir. Kesalahan hanyalah titik transit, rest area
sebelum berhenti di Batununggal atau Leuwipanjang.
Ketika ada orang yang baru pertama kali menempuh
perjalanan Jakarta – Bandung, kemudian dengan lantang mengatakan “Wah ternyata
Jakarta – Bandung jauh sekali, jalannya berkelok-kelok, macet, sering berhenti
di terminal, capek deh”. Tentu kita akan maklum karena dia lewat jalur puncak. Tentu
sikap lantangnya akan berubah ketika pada kesempatan berikutnya menggunakan
jalur Tol Cipularang, yang ternyata cepat dan mulus jalannya.
Proses belajar pada hakekatnya adalah sebuah paket
bundling dalam suatu produk yang bernama manusia. Kesadaran akan tugas belajar,
akan menghadirkan mindset gelas setengah kosong. Yaitu sebuah mindset yang masih
memberikan ruang pada gelas untuk bisa diisi air lagi. Sebaliknya, hilangnya kesadaran akan tugas
belajar akan melahirkan mindset gelas penuh, yang tak bisa lagi diisi air.
Menjadi sia-sialah menuang air pada gelas yang penuh.
Nah itu yang duduk di pojok belakang, kok masih ngantuk
aja, saya kasih pertanyaan, “Gajah hanya ada dimana? “ . “Di paling belakang
Pak”. Bagus berarti sudah hilang ngantuknya...