Dalam suatu kesempatan, saya tersenggol oleh Gede
Prama yang mengutip tulisan Thich Nhat Hanh. Disebutkan bahwasanya dalam diri
manusia terdapat banyak bibit. Ada bibit kebodohan, keserakahan, kemarahan, iri
hati, dendam. Ada juga bibit kesabaran, kasih sayang, cinta, memaafkan,
persahabatan, kepahlawanan. Nah kalau dalam terminologi Islam disebut fujuroha
wa taqwaha.
Seperti halnya dalam pelajaran biologi, bibit-bibit
tersebut akan tumbuh apabila terkondisikan oleh lingkungan dan perlakuan
tertentu. Misalnya pemberian pupuk, penyiraman atau sebaliknya tak bisa tumbuh
karena dihambat oleh lingkungan dan perlakuan yang sebaliknya.
Yang menarik dari senggolan Gede Prama tersebut
adalah, kita diberikan pilhan untuk menjadi agen pertumbuhan bibit fujuroha
atau takwaha, kejelekan atau kebaikan. Kehadiran kita dalam masyarakat sosial,
secara tidak sadar adalah membawa peran sebagai agen pertumbuhan atas bibit
kejelekan atau kebaikan untuk orang lain.
Ada juga yang secara sadar, kehadirannya membawa misi
menumbuhkan bibit kebaikan, namun dalam kesadarannya tersebut terkandung
ketidaksadaran atas over dosis atau salah obat, sehingga sang bibit yang
diharapkan tumbuh subur namun malah stagnan bahkan kontra produktif, mengkeret.
Sajian penuh gizi yang diberikan oleh para motivator,
bagi kalangan tertentu justru dirasakan eneg. Ya memang setiap manusia punya
keunikan yang tidak selamanya bisa digebyah uyah. Kita sendiri seringkali
merasakan kebosenan atas menu ayam goreng yang disajikan secara terus menerus.
Ada sebuah upaya klasik dalam rangka penumbuhan bibit
baik yang diterapkan oleh masyarakat kita, yang menurut saya sangat efektif,
yaitu cerita. Kalau di Jawa khususnya dipedesaan, format ceritanya berupa
kesenian Ketoprak atau Wayang.
Saya masih ingat di awal tahun 80-an ketika listrik
belum hadir di desa saya, para tetangga pada ngumpul di rumah orang tua saya
untuk mendengarkan serial ketoprak Kamandoko, Anglingdarmo, Suminten Edan dll.
Mereka semua sudah hafal nglotok jalan ceritanya, namun anehnya nggak
bosen-bosen disetel terus itu kaset sampai nglokor.
Tidak terlalu penting, apakah cerita-cerita ketoprak
tersebut otentik apa tidak, namun hadirnya sosok Anglingdarmo apalagi yang
memerankan Widayat yang kesohor, akan menyuburkan semangat kepahlawanan yang
sebelumnya layu. Tokoh tokoh fiksi tersebut hadir tanpa membawa sebutan guru,
namun memberikan begitu banyak pelajaran.
Para anak-anak juga begitu bersemangat usai
menyaksikan pegelaran wayang kulit yang menampilkan kepahlawanan setyaki, atau
Wisanggeni dan Ontoseno yang tidak bisa kromo inggil namun sakti luar biasa.
Sambil membusungkankan dada kemudian berujar, hayo iki dadane setyaki antemono!
Saat ini pun saya masih menikmati dan mendapat
suntikan semangat ketika membaca cerita Mahesa Jenar karya SH Mintarja,
walaupun sudah hafal jalan ceritanya, tetap saja masih menarik untuk dibaca
ulang. Terus terang dengan merasakan kehadiran tokoh Ki Asem Gede, Ki Dalang
Mantingan, Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Surodipoyono, Titis Anganten, Gajah
sora, ada nuansa gimana gitu.
Kehadiran tokoh entah itu fiktif ataupun real, memang
diperlukan dalam kehidupan ini. Mungkin dari sisi ilmu sejarah ada polemik,
apakah itu otentik atau tidak, tetapi bagi kalangan tertentu, hal itu
memberikan vitamin yang bermanfaat bagi pertumbuhan bibit kebaikan. Gambar
mewakili seribu kata, tokoh mewakili seribu episod.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar