Kamis, 01 April 2010

Gaung Kemudahan

Suatu ketika, Rasulullah saw kedatangan seorang tamu ibnu sabil yang kehabisan bekal. Karena di rumahnya tidak ada sesuatu yang layak untuk diberikan, maka nabi meminta tolong sahabat Bilal agar mengantar tamu itu ke rumah Fatimah.

Di rumah putri kesayangan nabi itu, rupanya juga tidak ada sesuatu yang layak dimakan. Maka dengan hati tulus dan ikhlas, Fatimah memberinya kalung hadiah pernikahannya dengan Ali. ''Ambillah kalung ini dan juallah! Mudah-mudahan harganya cukup memenuhi keperluanmu!'' kata Fatimah.

''Berapa hendak kamu jual kalung itu?'' tanya Ammar bin Yasir.
''Aku akan menjualnya dengan tukaran roti dan daging sekadar untuk mengenyangkan perutku, sebuah baju penutup tubuhku, dan uang satu dinar untuk menemui istriku,'' kata si tamu.

Ammar berkata, ''Baiklah, aku membeli kalung itu dengan harga 20 dinar, ditambah 200 dirham, ditambah sebuah baju, serta seekor unta agar kamu dapat menemui istrimu.''

Setelah itu Ammar berkata kepada budaknya, Asham. ''Wahai Asham, pergilah sekarang menghadap Rasulullah. Katakan bahwa aku menghadiahkan kalung ini dan juga kamu kepadanya. Jadi, mulai hari ini kamu bukan budakku lagi, tetapi budak Rasulullah.''

Ternyata Rasulullah pun berbuat sebagaimana Ammar. Ia menghadiahkan kalung itu dan juga Asham kepada Fatimah.

Fatimah sangat bahagia menerima hadiah dari ayahandanya, sekalipun dia tahu bahwa kalung ini semula memang miliknya. Dia sadar, ternyata kebaikannya yang hanya sekadar memberi kalung mendapat balasan berlebih dari Allah swt, yaitu dengan ditambah seorang budak.

Lalu Fatimah berkata kepada Asham, ''Wahai Asham, kamu sekarang bebas dari perbudakan dan menjadi manusia merdeka, aku melakukan semua ini karena Allah swt semata.''

''Mengapa kamu tertawa seperti itu,'' tanya Fatimah yang merasa heran melihat Asham tertawa terbahak-bahak.

''Aku tertawa karena kagum dan takjub akan berkah kalung yang beriwayat ini. Ia telah mengenyangkan orang yang lapar. Ia telah menutup tubuh orang yang telanjang. Ia telah memenuhi hajat seorang yang fakir dan akhirnya ia telah membebaskan seorang budak,'' jawab Asham.

Rasulullah bersabda, ''Siapa saja yang ingin doanya dikabulkan dan kesusahannya dihilangkan, maka bantulah orang yang sedang kesulitan.'' (HR Ibnu Abi ad-Dunya)

Sahabat, mari kita membuat gaung kemudahan sebanyak-banyaknya, agar kita banyak mendapatkan kemudahan untuk hidup semakin prestatif dan bermanfaat bagi banyak ummat. Berani hadapi tantangan?

Orang Beragama atau Orang Baik?

Seorang lelaki berniat untuk menghabiskan seluruh waktunya untuk
beribadah. Seorang nenek yang merasa iba melihat kehidupannya
membantunya dengan membuatkan sebuah pondok kecil dan memberinya makan, sehingga lelaki itu dapat beribadah dengan tenang.

Setelah berjalan selama 20 tahun, si nenek ingin melihat kemajuan
yang telah dicapai lelaki itu. Ia memutuskan untuk mengujinya dengan
seorang wanita cantik. ''Masuklah ke dalam pondok,'' katanya kepada
wanita itu, ''Peluklah ia dan katakan 'Apa yang akan kita lakukan
sekarang'?''

Maka wanita itu pun masuk ke dalam pondok dan melakukan apa yang
disarankan oleh si nenek. Lelaki itu menjadi sangat marah karena
tindakan yang tak sopan itu. Ia mengambil sapu dan mengusir wanita
itu keluar dari pondoknya.

Ketika wanita itu kembali dan melaporkan apa yang terjadi, si nenek
menjadi marah. ''Percuma saya memberi makan orang itu selama 20
tahun,'' serunya. ''Ia tidak menunjukkan bahwa ia memahami
kebutuhanmu, tidak bersedia untuk membantumu ke luar dari
kesalahanmu. Ia tidak perlu menyerah pada nafsu, namun sekurang-
kurangnya setelah sekian lama beribadah seharusnya ia memiliki rasa
kasih pada sesama.''

Apa yang menarik dari cerita diatas? Ternyata ada kesenjangan yang
cukup besar antara taat beribadah dengan memiliki budi pekerti yang
luhur. Taat beragama ternyata sama sekali tak menjamin perilaku
seseorang.

Ada banyak contoh yang dapat kita kemukakan disini. Anda pasti sudah sering mendengar cerita mengenai guru mengaji yang suka memperkosa muridnya. Seorang kawan yang rajin shalat lima waktu baru-baru ini di PHK dari kantornya karena memalsukan dokumen. Seorang kawan yang berjilbab rapih ternyata suka berselingkuh. Kawan yang lain sangat rajin ikut pengajian tapi tak henti-hentinya menyakiti orang lain.
Adapula kawan yang berkali-kali menunaikan haji dan umrah tetapi
terus melakukan korupsi di kantornya.

Lantas dimana letak kesalahannya? Saya kira persoalan utamanya adalah pada kesalahan cara berpikir. Banyak orang yang memahami agama dalam pengertian ritual dan fiqih belaka. Dalam konsep mereka, beragama berarti melakukan shalat, puasa, zakat, haji dan melagukan (bukannya membaca) Alquran. Padahal esensi beragama bukan disitu. Esensi beragama justru pada budi pekerti yang mulia.

Kedua, agama sering dipahami sebagai serangkaian peraturan dan
larangan. Dengan demikian makna agama telah tereduksi sedemikian rupa menjadi kewajiban dan bukan kebutuhan. Agama diajarkan dengan pendekatan hukum (outside-in), bukannya dengan pendekatan kebutuhan dan komitmen (inside-out). Ini menjauhkan agama dari makna sebenarnya yaitu sebagai sebuah sebuah cara hidup (way of life), apalagi cara berpikir (way of thinking).

Agama seharusnya dipahami sebagai sebuah kebutuhan tertinggi manusia. Kita tidak beribadah karena surga dan neraka tetapi karena kita lapar secara rohani. Kita beribadah karena kita menginginkan kesejukan dan kenikmatan batin yang tiada taranya. Kita beribadah karena rindu untuk menyelami jiwa sejati kita dan merasakan kehadiran Tuhan dalam keseharian kita. Kita berbuat baik bukan karena takut tapi karena kita tak ingin melukai diri kita sendiri dengan perbuatan yang jahat.

Ada sebuah pengalaman menarik ketika saya bersekolah di London dulu. Kali ini berkaitan dengan polisi. Berbeda dengan di Indonesia,
bertemu dengan polisi disana akan membuat perasaan kita aman dan
tenteram. Bahkan masyarakat Inggris memanggil polisi dengan panggilan kesayangan: Bobby.

Suatu ketika dompet saya yang berisi surat-surat penting dan sejumlah uang hilang. Kemungkinan tertinggal di dalam taksi. Ini tentu membuat saya agak panik, apalagi hal itu terjadi pada hari-hari pertama saya tinggal di London. Tapi setelah memblokir kartu kredit dan sebagainya, sayapun perlahan-lahan melupakan kejadian tersebut. Yang menarik, beberapa hari kemudian, keluarga saya di Jakarta menerima surat dari kepolisian London yang menyatakan bahwa saya dapat mengambil dompet tersebut di kantor kepolisian setempat.

Ketika datang kesana, saya dilayani dengan ramah. Polisi memberikan
dompet yang ternyata isinya masih lengkap. Ia juga memberikan
kuitansi resmi berisi biaya yang harus saya bayar sekitar 2,5 pound.
Saking gembiranya, saya memberikan selembar uang 5 pound sambil
mengatakan, ''Ambil saja kembalinya.'' Anehnya, si polisi hanya
tersenyum dan memberikan uang kembalinya kepada saya seraya
mengatakan bahwa itu bukan haknya. Sebelum saya pergi, ia bahkan
meminta saya untuk mengecek dompet itu baik-baik seraya mengatakan bahwa kalau ada barang yang hilang ia bersedia membantu saya untuk menemukannya.

Hakekat keberagamaan sebetulnya adalah berbudi luhur. Karena itu
orang yang ''beragama'' seharusnya juga menjadi orang yang baik. Itu
semua ditunjukkan dengan integritas dan kejujuran yang tinggi serta
kemauan untuk menolong dan melayani sesama manusia.

Sumber: Orang Beragama atau Orang Baik? oleh Arvan Pradiansyah,
direktur pengelola Institute for Leadership Life Management (ILM)
penulis buku Life is Beautiful