Sabtu, 17 April 2010

Bike2Work, Kegilaan yang Dianjurkan

Tahukah Anda kalau bersepeda bisa membuat orang jadi gila? Dan apakah Anda percaya kalau di sisi lain kegilaan justru dapat dicegah dengan bersepeda? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata gila dapat berarti: 1. sakit ingatan; sakit jiwa. 2. tidak biasa; tidak sebagaimana mestinya. 3. kata seru dalam percakapan yang bisa berarti ‘kagum’. 4. menyukai, mencintai atau menggemari sesuatu. 5. tidak masuk akal. Walaupun memiliki beragam makna, namun semuanya berada pada wilayah semantik yang sama, atau dalam istilah linguistik disebut polisemi.

Lalu, semantik apa yang mengikat kelima makna kata gila itu sehingga ia disebut polisemi? Di sini Anda mungkin tidak akan menemukan penjelasannya secara teoretis kebahasaan. Namun, uraian saya ini mungkin akan membuat Anda mengerti apa esensi sederhana dari kata gila, bagaimana menyikapi kegilaan, dan kegilaan apa yang dianjurkan.

*****

Pagi di pertengahan Oktober 2005 lalu, sebuah tayangan entertainment di salah satu TV swasta mengulas tentang suatu komunitas pekerja bersepeda yang selalu menggunakan sepeda ke tempat kerjanya. Sebuah aktivitas yang tak lazim dilakukan mayoritas masyarakat di Ibukota, yang kebanyakan lebih memilih menggunakan bus atau kendaraan bermotor lainnya. Spontan, saya pun berkomentar, “Gila!”. Kini, komentar itu telah berbalik tertuju kepada saya. Hampir semua rekan kerja saya berseru, “Dasar gila”, karena saya pergi bekerja dengan menggenjot sepeda dari rumah di kawasan Cipayung, Jakarta Timur menuju Kuningan, Jakarta Selatan sejak November 2005 lalu hingga sekarang. Benarkah saya sudah gila? Bisa jadi. Menurut kabar di sebuah situs berita, kini semakin banyak orang gila berkeliaran di jalan karena stres pascakenaikan harga BBM. Faktanya, selama ini saya pun stres dengan situasi kemacetan lalulintas Ibukota dan polusi udara yang semakin parah. Kendaraan bermotor setiap hari kian bertambah justru seiring meroketnya harga BBM. Ironis! Namun ternyata komunitas pekerja bersepeda, Bike to Work (B2W) Indonesia menawarkan alternatif jitu untuk mengekspresikan kegilaan tersebut. Mereka mensosialisasikan penggunaan sepeda sebagai alat transportasi alternatif sehari-hari untuk ke tempat kerja maupun aktivitas lainnya.

Jika menilik makna kata gila yang berarti ‘tidak biasa’, maka dapat dibenarkan kalau B2W adalah suatu bentuk kegilaan tersendiri. Bagaimana tidak, saat ini siapa yang mau bersepeda di tengah-tengah lalulintas Ibukota yang semrawut? Siapapun mungkin akan ngeri menggenjot sepeda di antara kendaraan bermotor yang berseliweran sak enak udele dewe. Untuk bersepeda di Jakarta mungkin dibutuhkan kesiapan bertarung dengan pengendara bermesin demi memperebutkan space walau setengah meter saja. Beradu sikut dengan pesepeda motor bahkan diseruduk moncong bus, seolah telah ditakdirkan sebagai risiko yang harus di hadapi para ksatria “kendaraan berotot” ini. Ya, kata orang Ibukota memang kejam, begitupun lalulintas jalan rayanya.

Tetapi B2W justru ingin melawan image yang telah melekat kuat di sebagian besar masyarakat Ibukota. Predikat gila pada B2W tidak habis hanya sampai di situ. Kata gila juga dapat berarti ‘tidak masuk akal’. Dan faktanya, mayoritas orang menganggap aktivitas yang diusung B2W sebagai tindakan gila, nggak masuk akal. Seperti yang juga diserukan rekan kerja saya tadi. Ketika saya ikut menyuarakan beberapa moto yang diusung B2W, no pollution, less traffic, save gasoline, save money, mereka pun dengan apatis menimpali save your lung guys!

Bagi mereka, bersepeda di Jakarta untuk saat ini sangat tidak realistis. Jakarta sebagai kota berperingkat ketiga polusi udara di dunia, lalulintasnya sudah semrawut. Mereka nggak mau kalau paru-paru mereka ikutan jadi “semrawut” karena kebanyakan menghirup CO2. Tapi melalui aksi kampanyenya, B2W berusaha membalikkan opini masyarakat bahwa ternyata kegilaan itu justru sangat realistis. Pepatah Jerman mengatakan, “Sebuah sepeda jauh lebih baik daripada satu truk obat-obatan”. Artinya, Dengan bersepeda, kita tidak perlu obat-obatan lain untuk menjaga kesehatan kita. Banyak hasil riset membuktikan bahwa orang-orang yang mengendarai sepeda setiap hari, mengalami kemajuan tingkat kesehatan yang lebih baik daripada orang-orang yang biasa berkendaraan mobil atau kereta. Bahkan, ada salah satu anggota B2W yang masih tampak bugar di usianya yang hampir kepala lima karena kegilaannya itu.

Bukti riset dan pengalaman seperti itu kerap disosialisasikan para anggota B2W ke masyarakat baik secara langsung maupun lewat forum di milis B2W. Soal polusi udara yang justru mengancam paru-paru? Nggak usah cemas. Toh B2W tidak asal menyuruh orang-orang bersepeda di Jakarata begitu saja. Ada persiapan yang harus dipenuhi untuk bersepeda di Ibukota. Di antaranya, wajib hukumnya memakai masker agar paru-paru kita terlindung dari udara yang tidak sehat. Justru dengan banyaknya orang bersepeda akan menghemat konsumsi BBM, sehingga mengurangi polusi udara di kota-kota besar seperti Jakarta. Jadi, ini kegilaan yang masuk akal dan realistis bukan! Hanya sampai di situkah kegilaan B2W? Tampaknya tidak. Karena kata gila masih menyimpan asosiasi makna yang lain, yaitu ‘menyukai’, ‘mencintai’, atau ‘menggemari’ (sesuatu). Menggiring masyarakat agar mau memilih sepeda sebagai transportasi alternatif, memang tidak mudah. Perlu ada kesadaran yang ditanamkan terlebih dahulu dalam diri mereka bahwa bersepeda itu ternyata menyenangkan. Ketika seseorang telah merasakan senang bersepeda, maka ia pun berpotensi jadi gila dalam arti menjadi menyukai, menggemari, atau bahkan mencintai aktivitas bersepeda. Rasa senang itu sendiri bisa timbul dari beberapa faktor, di antaranya faktor kenyamanan. Dan berbicara masalah kenyamanan bersepeda, dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, kenyamanan yang ditimbulkan dari diri sendiri melalui sepeda yang digunakan, dan beberapa perlengkapan utama seperti helm, masker, sarung tangan, kacamata, atau jaket pelindung. Kedua, kenyamanan yang diciptakan dari luar, yaitu prasarana pendukung berupa bike lane atau jalur prioritas sepeda yang perlu ditopang fasilitas lain seperti tempat parkir khusus sepeda dan kamar mandi di perkantoran, mal, terminal, stasiun dan tempat-tempat umum lainnya, sebagaimana yang tergambar dalam misi B2W. Itu semua dapat tercapai apabila pemerintah, pengelola perkantoran, dan pengelola fasilitas umum, serta masyarakat, sama-sama berkomitmen untuk meraihnya.

Saat ini tercatat baru beberapa gedung perkantoran di Jakarta yang telah menyediakan fasilitas parkiran sepeda, salah satunya gedung Siemens di Jalan M.T. Haryono, Jakarta Selatan. Itu digagas atas inisiatif salah seorang karyawannya yang juga anggota B2W. Sementara untuk penyediaan bike line, nampaknya harus membutuhkan proses panjang karena terkait dengan pembangunan infrastruktur besar yang terencana dengan perhitungan matang. Misalnya, perlu memperhitungkan berapa banyak orang yang menggunakan sepeda di Jakarta, sehingga pembangunan bike line tidak mubazir. Karena tidak mungkin pemerintah mau membuat bike line jika jumlah pengguna sepeda hanya sedikit. Tampak dilematik memang, karena di sisi lain adanya bike line justru juga dapat mendorong masyarakat untuk mau bersepeda. Tetapi B2W tidak larut dalam dilema itu. Misi perealisasian bike line terus disuarakan dan B2W pun kian gencar mengajak banyak orang untuk bersepeda. Sampai saat ini anggota komunitas B2W yang tergabung di milis b2w-indonesia@yahoogroups.com per 2 Agustus 2006, berjumlah 567 orang.

Sekedar asumsi, jika jumlah minimum pengguna sepeda di Jakarta yang dipersyaratkan harus sebanyak 300 ribuan untuk realisasi bike line, maka jumlah tersebut baru dapat tercapai selama 10 tahun lebih. Itu pun jika setiap anggotanya berhasil “meracuni” kegilaan ini kepada satu orang saja setiap minggunya. Tapi perlu dicatat, di luar anggota yang terdaftar itu, masih ada lebih dari dua ribuan pesepeda yang berseliweran di jalan-jalan Ibukota. Jadi, bukan mustahil jika angka yang dipersyaratkan itu dapat terwujud kurang dari dua tahun. Maka tak heran jika hingga saat ini B2W ─yang dideklarasikan pada 27 Agustus 2005 lalu─ tetap gencar dan serius menjalankan visi dan misinya itu. Hampir setiap minggu aksi B2W, baik secara individu maupun masal selalu terlihat lewat kampanye di jalan-jalan Ibukota seperti di Bunderan HI. Selain melalui flayer, penyebaran informasinya pun kini mulai diperluas melalui kerjasama dengan berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Dan, di penghujung Agustus lalu, B2W genap setahun menularkan kegilaannya. Dengan tema 2006-nya, “Cegah Polusi, Hemat BBM, Kurangi Macet, Sehat dan Bugar Beraktifitas”, B2W mungkin akan menjadi virus baru yang akan menjangkiti masyarakat Ibukota. Maka lagi-lagi akan banyak orang yang berseru “Gila!”. Namun kegilaan kali ini tertuju pada bentuk semantik berupa seruan yang menggambarkan ungkapan ‘kagum’.

Terbukti telah banyak respon positif masyarakat terhadap gerakan ini. Tak jarang rasa salut walau sekadar acungan jempol diberikan sebagai bentuk apresiasi mereka. Seperti yang pernah dialami salah satu anggota B2W yang suatu ketika dipepet sebuah mobil, yang ternyata si pengendara hanya mau menyampaikan rasa salutnya. Jadi, terjawab sudah semantik yang mengikat makna kata gila. Tanpa sebuah penjabaran teori linguistik, Anda dapat melihat satu wilayah semantik yang merangkul seluruh makna kata gila dalam sebuah nama Bike to Work

*****

Tapi ternyata uraian ini belum habis karena kegilaan ini masih menyimpan sebuah tanya. Bagaimana dengan masalah kepraktisan? Tak dipungkiri pastinya orang akan menganggap kalau bersepeda ke tempat kerja pasti repot. Badan berkeringat, sehingga harus mandi dan mau tak mau harus membawa pakaian ganti. Kalau soal itu nanti dulu, karena yang tepenting adalah apakah Anda telah siap menerima kegilaan yang ditawarkan B2W? Sebaiknya sih Anda menjawab “iya” karena ini adalah kegilaan yang sangat dianjurkan. Maka ketika Anda siap untuk mejadi gila, tanpa di sadari nantinya Anda akan benar-benar gila sehingga tak lagi memikirkan repotnya berkeringat, mandi, dan membawa pakaian ganti. Hingga pada suatu saat rekan-rekan kerja Anda yang akan menyadarkan Anda dengan seruan “Dasar gila!”. Tapi jangan khawatir, niscaya Anda tetap akan mempertahankan kegilaan yang akhirnya telah Anda sadari.

Jakarta, 24 Juli 2006
*Muhammad Arief Rahman Penulis adalah anggota komunitas Bike2Work

ISLAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

Sebagai muslim kita seharusnya memahami landasan-landasan dari pelestarian lingkungan hidup. Karena pelestarian lingkungan hidup tak tak terlepas dari manusia sebagai khalifah di bumi ini.

Kini kita memasuki puncak musim penghujan. Hujan sesungguhnya diciptakan Allah swt. untuk membawa keberkahan dimuka bumi. Hujan membawa kesuburan tanaman di bumi ini, membawa musim perkembangbiakan bermacam jenis ikan, dan keberkahan lain yang ditimbulkan dari penciptaan hujan itu sendiri. Namun kini hujan dibumi ini, khususnya di negeri kita justru membawa berbagai bencana bagi manusia di muka bumi. Banjir di mana-di mana, tanah longsor di berbagai tempat, dan bermacam bencana yang muncul pada saat musim penghujan itu tiba. Mengapa, karena semua itu adalah akibat dari ulah manusia, yang tidak memahami makna dari penciptaaan manusia, langit dan bumi.
Manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi ini untuk mengatur kehidupan lingkungan hidup yang baik dan tertata, namun sebalik justru saat ini manusia telah membuat kerusakan di muka bumi. Lingkungan hidup yang seharusnya membawa keberkahan bagi manusia, kini malah menjadi bencana bagi manusia itu sendiri.

Oleh karena itu, sebagai muslim kita seharusnya memahami landasan-landasan dari pelestarian lingkungan hidup. Pelestarian lingkungan hidup tak tak terlepas
dari manusia sebagai khalifah di bumi ini. Landasan itu menurut Al Qur’an dan hadits antara lain :

1. Allah pencipta langit dan bumi (Alam semesta)

Allah menciptakan alam semesta ini dan hanya Dialah sumber pengetahuannya.. Islam adalah Diin yang Syaamil (integral), Kaamil(Sempurna) dan Mutakaamil (Menyempurnakan semua sistem yang lain), karena ia adalah sistem hidup yang diturunkan oleh Allah yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan Maha Bijaksana. ”Pada hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu dan Aku cukupkan atasmu nimatku, dan Aku ridhai Islam sebagai aturan hidupmu” (QS 5:3). Dan demikian sempurnanya Allah mengatur sehingga aturan itu juga mencakup hubungan manusia sebagai khalifah dengan alam dan lingkungan hidupnya.

2. Manusia sebagai khalifah di bumi ini

Pelestarian alam dan lingkungan hidup tak terlepas dari peran manusia sebagai khalifah di muka bumi . Sebagaimana disebutkan dalam QS Al Baqarah : 30 “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”. Arti khalifah di sini adalah manusia diberi kedudukan oleh Allah untuk mengelola suatu wilayah. Ia berkewajiban untuk menciptakan suatu masyarakat yang hubungan dengan Allah itu baik, kehidupan masyarakatnya harmonis, agama, akal dan budayanya terpelihara. Dan bertugas memelihara, menjaga pelestarian alam dan lingkungan hidup.

3. Pengakuan akan keesaan Allah

Manusia mengakui keesaan Allah dalam penciptaan alam semesta ini. Pengakuan inilah yang merupakan kunci memahami masalah lingkungan hidup. “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Allah yang menciptakan langit dan Bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (Al An’aam 79).

4. Memahami Allah yang Maha mengatur kehidupan alam semesta

Keteraturan yang ditata dengan baik dan sempurna adalah karena Allah yang telah mengatur kehidupan dan segala di alam semesta ini. Surat yang ada dalam Al-An’aam disebutkan ” Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan membuat gelap dan terang”.

5 Memahami maksud dan tujuan penciptaan alam semesta

Alam semesta ini diciptakan agar manusia dapat berusaha dan beramal sehingga tampak di antara mereka siapa yang taat dan patuh kepada Allah. “ Dan dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,…Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya “ (Surat Hud:7).

6. Kewajiban manusia untuk tunduk kepada Allah

Diwajibkan kepada manusia untuk tunduk kepada Allah yang Maha Memelihara alam semesta ini. Dengan mengikuti petunjuk-petunjuk yang telah Allah ciptakan di dalam kitab suci Al Qur’an bagaimana seharusnya manusia memelihara alam semesta ini. ” Dialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain dia; Pencipta segala ssuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu ”

7. Kewajiban manusia untuk melestarikan alam semesta

Manusia sebagai khalifah di muka bumi, memiliki kewajiban mestarikan alam semesta dan lingkungan hidup dengan sebaik-baiknya. Agar hidup di dunia menjadi makmur sejahtera penuh keberkahan dan menjadi bekal di hari akhir kelak.
“ Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada Nya….” (Al A’raaf 56)

8. Memahami tugas menjaga keseimbangan lingkungan hidup

Menjadi tugas bagi manusia sebagai khalifah di bumi ini untuk menjaga keseimbangan lingkungan hidup untuk kesejahteraan hidup manusia di bumi ini :” Dan kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala seuatu menurut ukuran “ (AL Hijr 19)

9. Pemahaman mengenai siklus Hidrologi

Proses perubahan diciptakan untuk memelihara keberlanjutan (sustainability) bumi. Proses ini dikenal sebagai siklus hidrologi, mencakup proses evaporasi, kondensasi, hujan dan aliran air ke sungai/danau/laut, Dalam surat Ar-Ruum :48 dijelaskan ”Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki Nya, dan menjadikannya bergumpal gumpal; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba Nya yang dikehendakinya, tiba-tiba mereka menjadi gembira.” (Ar-Ruum:48)

10. Kebersihan rohani dan jasmani

Manusia sebagai khalifah, sudah tentu harus bersih rohani dan jasmaninya. Kebersihan jasmani adalah bagian integral daripada kebersihan rohani. “Sesungguhnya Allah senang kepada orang-orang yang bertaubat, dan senang kepada orang yang membersihkan diri” (Al-Baqarah 222).”…dan bersihkanlah pakaianmu serta tinggalkan segala perbuatan dosa” (Al-Mudatsir 4-5).

Karena hanya orang-orang yang bersih secara rohani dan jasmani yang mampu memelihara semesta alam sebagai khalifah di bumi ini.

Sementara orang-orang yang penuh dengan dosa dan pikiran, dan perbuatan kotor yang hidupnya hanya merusak dan mengotori lingkungan hidup ini, maka mengakibatkan kerusakan di muka bumi. Orang-orang seperti inilah yang tidak memahami landasan-landasan penciptaan langit dan bumi (alam semesta ini ). Namun bagi kaum muslimin yang selalu berpegang pada Al Qur’an dan Hadits Rasulullah dan terus membaca, belajar, dan mengerti isi perintah-perintah Allah ini akan memahami dan memenuhi perintah Allah yang menciptakan manusian ini sebagai khalifah di muka bumi untuk beribadah kepada Allah.
sumber : majalahnh.com