Senin, 28 September 2015

Solat Subuh Terakhir Bersama Pak Hamim



Dalam satu minggu terakhir ini ada yang berbeda dari Pak Hamim. Biasanya habis sholat isya diakhiri dengan sholat ba’diyah berbarengan dengan mematikan lampu masjid. Sampai saya selesai ba’diyah beliau masih berdoa dengan khusyu sambil menangis. Kami tinggalkan beliau sendirian di masjid. Nggak enak juga sebenarnya membebankan tugas mematikan lampu dan menutup pintu kepada beliau.

Usianya sudah 69 tahun, tubuhnya kecil namun masih sehat dan segar. Hatinya yang bersih saya yakin jadi salah satu kunci kesehatan dan kesegarannya. Bicaranya lepas, nggak ada beban yang disandangnya. Rendah hatinya, ini yang saya catat special dari beliau.
Belum banyak yang saya ketahui tentang beliau, saya sendiri baru 4 bulan menempati rumah yang saat ini dan menjadi jamaah masjid dimana Pak Hamim sebagai imam. Beliau adalah orang pertama di masjid yang mengenal nama saya, selain Mas Johni Purwantoro tentunya. Begitu melihat saya sebagai jamaah baru, beliau langsung mengajak saya berkenalan.

Pada kesempatan berikutnya beliau mempersilahkan saya jadi imam, saya terima tawaran tersebut. Sebuah sambutan selamat datang yang tulus sebagai jamaah baru. Hari hari berikutnya saya  menikmati sholat jamaah yang diimami Pak Hamim. Suaranya tidaklah begitu merdu, namun karena digerakkan oleh hati yang bersih membuat saya ‘nyaman’ sholat bersama beliau.

Hari Jumat kemarin, ternyata adalah hari terakhir kami bersama beliau. Sholat subuh kami laksanakan seperti rutinitas, dan beliau menjadi imam, tidak ada hal yang istimewa. Ketika sholat Jumat, ternyata Allah memberi kesempatan happy ending kepada beliau. Khatib Jumat yang terjadwal berhalangan hadir, sehingga beliau menggantikannya. Khutbah dilaksanakan dengan singkat, batuk batuk mengiringi saat khutbah kedua. Saat iqomah adalah masa injury time bagi beliau, sudah terasa payah beliau untuk berdiri, salah satu jamaah menggantikan beliau menjadi imam. Sholat jumat dilaksanakan beliau dengan posisi duduk. Dan itu adalah pintu perjumpaan beliau dengan Sang Khaliq.

Komplek kami berduka, kami kehilangan sosok orang tua yang begitu dihormati dan dibutuhkan kehadirannya. Allah memberikan ibroh kepada kami semua dengan akhir Pak Hamim yang begitu elok. Hari itu seolah Allah menyuruh kami untuk mengenang beliau. Sabtu pagi menjelang subuh, murotal yang terdengar di menara masjid adalah surat Al jatsiyah, yaitu surat yang diawali dengan Haa miim, tanzilul kitabi minallahil azizil hakim. Sang muadzin pun tak kuasa menahan haru, haya alal falah dikumandangkan dengan suara tangis.

Ternyata tidak cukup sampai disitu, habis subuh saya menuju masjid tetangga untuk mengikuti pengajian rutin tiap Sabtu pagi, ternyata ayat yang dibahas adalah awal surat Al Jatsiyah, Haa miim, tanzilul kitabi minallahil azizil hakim…
Selamat jalan Pak Hamim, kebersihan hatimu selalu jadi inspirasi kami …

Vitamin Pertumbuhan


Dalam suatu kesempatan, saya tersenggol oleh Gede Prama yang mengutip tulisan Thich Nhat Hanh. Disebutkan bahwasanya dalam diri manusia terdapat banyak bibit. Ada bibit kebodohan, keserakahan, kemarahan, iri hati, dendam. Ada juga bibit kesabaran, kasih sayang, cinta, memaafkan, persahabatan, kepahlawanan. Nah kalau dalam terminologi Islam disebut fujuroha wa taqwaha.
Seperti halnya dalam pelajaran biologi, bibit-bibit tersebut akan tumbuh apabila terkondisikan oleh lingkungan dan perlakuan tertentu. Misalnya pemberian pupuk, penyiraman atau sebaliknya tak bisa tumbuh karena dihambat oleh lingkungan dan perlakuan yang sebaliknya.
Yang menarik dari senggolan Gede Prama tersebut adalah, kita diberikan pilhan untuk menjadi agen pertumbuhan bibit fujuroha atau takwaha, kejelekan atau kebaikan. Kehadiran kita dalam masyarakat sosial, secara tidak sadar adalah membawa peran sebagai agen pertumbuhan atas bibit kejelekan atau kebaikan untuk orang lain.
Ada juga yang secara sadar, kehadirannya membawa misi menumbuhkan bibit kebaikan, namun dalam kesadarannya tersebut terkandung ketidaksadaran atas over dosis atau salah obat, sehingga sang bibit yang diharapkan tumbuh subur namun malah stagnan bahkan kontra produktif, mengkeret.
Sajian penuh gizi yang diberikan oleh para motivator, bagi kalangan tertentu justru dirasakan eneg. Ya memang setiap manusia punya keunikan yang tidak selamanya bisa digebyah uyah.  Kita sendiri seringkali merasakan kebosenan atas menu ayam goreng yang disajikan secara terus menerus.
Ada sebuah upaya klasik dalam rangka penumbuhan bibit baik yang diterapkan oleh masyarakat kita, yang menurut saya sangat efektif, yaitu cerita. Kalau di Jawa khususnya dipedesaan, format ceritanya berupa kesenian Ketoprak atau Wayang.
Saya masih ingat di awal tahun 80-an ketika listrik belum hadir di desa saya, para tetangga pada ngumpul di rumah orang tua saya untuk mendengarkan serial ketoprak Kamandoko, Anglingdarmo, Suminten Edan dll. Mereka semua sudah hafal nglotok jalan ceritanya, namun anehnya nggak bosen-bosen disetel terus itu kaset sampai nglokor. 
Tidak terlalu penting, apakah cerita-cerita ketoprak tersebut otentik apa tidak, namun hadirnya sosok Anglingdarmo apalagi yang memerankan Widayat yang kesohor, akan menyuburkan semangat kepahlawanan yang sebelumnya layu. Tokoh tokoh fiksi tersebut hadir tanpa membawa sebutan guru, namun memberikan begitu banyak pelajaran.
Para anak-anak juga begitu bersemangat usai menyaksikan pegelaran wayang kulit yang menampilkan kepahlawanan setyaki, atau Wisanggeni dan Ontoseno yang tidak bisa kromo inggil namun sakti luar biasa. Sambil membusungkankan dada kemudian berujar, hayo iki dadane setyaki antemono!
Saat ini pun saya masih menikmati dan mendapat suntikan semangat ketika membaca cerita Mahesa Jenar karya SH Mintarja, walaupun sudah hafal jalan ceritanya, tetap saja masih menarik untuk dibaca ulang. Terus terang dengan merasakan kehadiran tokoh Ki Asem Gede, Ki Dalang Mantingan, Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Surodipoyono, Titis Anganten, Gajah sora, ada nuansa gimana gitu. 
Kehadiran tokoh entah itu fiktif ataupun real, memang diperlukan dalam kehidupan ini. Mungkin dari sisi ilmu sejarah ada polemik, apakah itu otentik atau tidak, tetapi bagi kalangan tertentu, hal itu memberikan vitamin yang bermanfaat bagi pertumbuhan bibit kebaikan. Gambar mewakili seribu kata, tokoh mewakili seribu episod.