Senin, 28 September 2015

Kepahlawanan Yang Sederhana



Dalam satu tahun, di negeri ini terdapat satu hari yang para penduduknya diingatkan akan suatu nilai kebaikan. Diharapkan para penduduk negeri dapat terinspirasi agar mau dan bisa meningkatkan perbuatan baiknya bagi sesama.  Yang menjadi tonggak peringatannya memang semangat mengorbankan barang yang paling berharga yang dimiliki yaitu nyawa. Direlakan nyawa yang hanya satu satunya itu demi bangsa dan negaranya.

Tapi saya yakin untuk saat ini tidak harus nyawa yang dituntut oleh para penyelenggara negara, esensinya adalah semangat untuk berbuat kebaikan. Ajakan untuk berbuat baik telah diselenggarakan oleh berbagai elemen, di berbagai media, di setiap waktu dan dengan berbagai cara.

Ada satu model berbuat kebaikan yang sederhana sebenarnya, tapi itu cukup menginspirasi saya. Pada suatu kunjungan ke daerah, kami dijemput oleh  seorang kawan. Saat di perjalanan, saya tersenggol dengan ucapannya. Kita sedekah dulu pak, ternyata bentuk sedekahnya adalah mempersilahkan mobil lain untuk menyeberang.

Wow, ternyata kita punya banyak kesempatan untuk bersedekah. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Saya yakin kita sering mendapatkan hal seperti ini dari orang lain, dan kita merasakan senang. Tentu perasaan serupa akan dirasakan oleh orang lain ketika mendapatkan kebaikan.

Bukankah saat ini kemacetan merupakan derita yang tak terperikan bagi masyarakat perkotaan. Orang yang ketika berangkat dari rumah semanis hello kitty, pulang-pulang bisa bagai security. Makanya para istri, jangan langsung mengajak para suami untuk berdiskusi atau malah menceramahinya. Beri kesempatan dulu membersihkan debu jalanan yang mengandung radiasi panas.

Tidak memperparah kemacetan, syukur menguranginya, tentu sangat membahagiakan para pemakai jalan. Seorang Pak Lik Jokowi atau Akang Emil tentu nggak bakalan bisa menghilangkan kemacetan seorang diri, disumpah serapahi sampek tuwek, sampai elek, sampai matek, nggak bakalan bisa jadi pahlawan seorang diri. Untuk kasus kemacetan jangan berharap keajaiban tongkat Musa datang kembali. Pahlawan kemacetan adalah bagi mereka yang berkenan tidak menggunakan mobil Pribadi, cukup sepeda motor saja atau kendaraan umum. Juga kepada para pemakai jalan yang dengan sadar, menemukan metode tidak menambah kemacetan.

Ada berbagai macam bentuk kebaikan yang dapat diperankan oleh seseorang bagi sesama dengan bentuk yang sederhana, namun berdampak signifikan. Misalnya saja apresiasi. Tahukan anda bahwasanya apresiasi berkontribusi hingga 50% atas keahlian seseorang. Sisanya 25 % berasal dari bakat dan 25 % nya lagi berasal dari ketekunannya belajar. Jadi, ketika sedang nganggur tidak ada salahnya untuk buka facebook, tidak untuk menulis status, tapi cukup dengan memberikan apresiasi kepada teman atas status atau komentarnya yang kita nilai positif.  Minimal nge-like lah.

Kita semua adalah pahlawan, kalaupun Negara tak mencatat atau mengukuhkan kita sebagai pahlawan, toh itupun nggak dibutuhkan di akhirat kelak. Cukuplah Malaikat yang mengumpulkan evidence kebaikan kita.

Selamat menjadi pahlawan!

Solat Subuh Terakhir Bersama Pak Hamim



Dalam satu minggu terakhir ini ada yang berbeda dari Pak Hamim. Biasanya habis sholat isya diakhiri dengan sholat ba’diyah berbarengan dengan mematikan lampu masjid. Sampai saya selesai ba’diyah beliau masih berdoa dengan khusyu sambil menangis. Kami tinggalkan beliau sendirian di masjid. Nggak enak juga sebenarnya membebankan tugas mematikan lampu dan menutup pintu kepada beliau.

Usianya sudah 69 tahun, tubuhnya kecil namun masih sehat dan segar. Hatinya yang bersih saya yakin jadi salah satu kunci kesehatan dan kesegarannya. Bicaranya lepas, nggak ada beban yang disandangnya. Rendah hatinya, ini yang saya catat special dari beliau.
Belum banyak yang saya ketahui tentang beliau, saya sendiri baru 4 bulan menempati rumah yang saat ini dan menjadi jamaah masjid dimana Pak Hamim sebagai imam. Beliau adalah orang pertama di masjid yang mengenal nama saya, selain Mas Johni Purwantoro tentunya. Begitu melihat saya sebagai jamaah baru, beliau langsung mengajak saya berkenalan.

Pada kesempatan berikutnya beliau mempersilahkan saya jadi imam, saya terima tawaran tersebut. Sebuah sambutan selamat datang yang tulus sebagai jamaah baru. Hari hari berikutnya saya  menikmati sholat jamaah yang diimami Pak Hamim. Suaranya tidaklah begitu merdu, namun karena digerakkan oleh hati yang bersih membuat saya ‘nyaman’ sholat bersama beliau.

Hari Jumat kemarin, ternyata adalah hari terakhir kami bersama beliau. Sholat subuh kami laksanakan seperti rutinitas, dan beliau menjadi imam, tidak ada hal yang istimewa. Ketika sholat Jumat, ternyata Allah memberi kesempatan happy ending kepada beliau. Khatib Jumat yang terjadwal berhalangan hadir, sehingga beliau menggantikannya. Khutbah dilaksanakan dengan singkat, batuk batuk mengiringi saat khutbah kedua. Saat iqomah adalah masa injury time bagi beliau, sudah terasa payah beliau untuk berdiri, salah satu jamaah menggantikan beliau menjadi imam. Sholat jumat dilaksanakan beliau dengan posisi duduk. Dan itu adalah pintu perjumpaan beliau dengan Sang Khaliq.

Komplek kami berduka, kami kehilangan sosok orang tua yang begitu dihormati dan dibutuhkan kehadirannya. Allah memberikan ibroh kepada kami semua dengan akhir Pak Hamim yang begitu elok. Hari itu seolah Allah menyuruh kami untuk mengenang beliau. Sabtu pagi menjelang subuh, murotal yang terdengar di menara masjid adalah surat Al jatsiyah, yaitu surat yang diawali dengan Haa miim, tanzilul kitabi minallahil azizil hakim. Sang muadzin pun tak kuasa menahan haru, haya alal falah dikumandangkan dengan suara tangis.

Ternyata tidak cukup sampai disitu, habis subuh saya menuju masjid tetangga untuk mengikuti pengajian rutin tiap Sabtu pagi, ternyata ayat yang dibahas adalah awal surat Al Jatsiyah, Haa miim, tanzilul kitabi minallahil azizil hakim…
Selamat jalan Pak Hamim, kebersihan hatimu selalu jadi inspirasi kami …